70 Tahun KAA: Sejarawan Undip Serukan Indonesia Harus Jadi “Penyeimbang” di Tengah Perang Dagang AS-China!

Jakarta (18/4). Tujuh puluh tahun lalu, Konferensi Asia-Afrika (KAA) digelar di Bandung, menandai bangkitnya suara negara-negara dunia ketiga. Kini, di tengah ketegangan geopolitik dan perang dagang AS-China, semangat KAA kembali relevan sebagai penuntun peran strategis Indonesia di panggung global.

Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, Prof. Singgih Tri Sulistiyono, menegaskan bahwa KAA 1955 adalah bukti nyata inisiatif Indonesia sebagai “pemain, bukan pion” dalam geopolitik dunia. “Indonesia tidak mau sekadar jadi objek globalisasi, tapi aktor yang menentukan arahnya sendiri,” tegasnya dalam diskusi memperingati 70 tahun KAA yang digelar DPP LDII, Kamis (17/4).

Di era 1950-an, dunia terbelah oleh Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet. KAA hadir sebagai jalan tengah, mempersatukan Asia-Afrika agar tidak terjebak dalam konflik dua kutub. Kini, meski Uni Soviet telah runtuh, polarisasi kekuatan global kembali terjadi—kali ini antara AS dan China.

“BRICS (Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan) adalah simbol perlawanan baru terhadap hegemoni Barat. Tapi, jangan salah, nuansa bipolar AS-China masih sangat kuat,” ungkap Singgih.

Meski dunia disebut-sebut memasuki era multipolar, Singgih mengingatkan bahwa dominasi AS dan sekutunya masih sangat nyata. “China dan Rusia memang membentuk poros tandingan, tapi pertarungan ideologisnya mirip Perang Dingin versi baru,” jelasnya.

Di tengah situasi ini, nilai-nilai KAA—kesetaraan, kerja sama tanpa dominasi, dan solidaritas Global South—kembali penting. “KAA bukan sekadar nostalgia anti-kolonialisme, tapi cetak biru tatanan dunia yang lebih adil,” tegasnya.

Namun, Singgih mengingatkan: “Tak mungkin kita jadi penyeimbang dunia jika dalam negeri masih rapuh.” Fondasi Pancasila, stabilitas politik, dan kemandirian ekonomi harus diperkuat terlebih dahulu.

“Proklamasi 1945 dan KAA 1955 lahir dari keberanian Indonesia memimpin. Sekarang, kita harus bangkit lagi—bukan dengan retorika, tapi dengan ketahanan nasional yang nyata,” pungkasnya.

Lantas, bisakah Indonesia kembali menjadi “juru damai” dunia? Jawabannya ada di tangan kita: kuat di rumah, berwibawa di dunia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *