Jakarta (30/3). Idul Fitri menjadi momentum untuk mengingat kembali esensi demokrasi Indonesia, yang bukanlah demokrasi liberal, melainkan demokrasi gotong-royong. Dalam demokrasi gotong-royong, perselisihan diselesaikan secara konstruktif, di mana kebijakan pemerintah yang tidak diterima oposisi dirembuk bersama untuk direkonstruksi menjadi keputusan yang bisa diterima seluruh rakyat.
Pernyataan ini disampaikan Ketua Umum DPP LDII, KH Chriswanto Santoso, dalam sambutannya menyambut Idul Fitri 1446 H. Ia menegaskan bahwa demokrasi Indonesia berbeda dengan demokrasi liberal. “Demokrasi Indonesia bukan demokrasi bebas menghujat, tapi demokrasi yang mengedepankan gotong-royong dan musyawarah untuk kepentingan bersama,” tegas KH Chriswanto.
Ia mencontohkan bahwa demokrasi di Indonesia dijiwai oleh Pancasila, yang mengedepankan nilai-nilai kebersamaan, saling menghargai, dan tepo seliro. “Inilah yang membedakan kita dengan demokrasi liberal, yang cenderung individualis. Kita mengutamakan kepentingan bersama, bukan golongan tertentu,” jelasnya.
Menyambut pernyataan tersebut, Ketua DPW LDII Provinsi Jambi, Rahmat Nuruddin, menyatakan dukungan penuh terhadap pesan yang disampaikan DPP LDII. “Kami sepenuhnya mendukung seruan Ketum DPP LDII untuk menjadikan Idul Fitri sebagai momentum memperbaiki demokrasi dan akhlak bangsa. Di Jambi, kami juga mengajak masyarakat untuk menjaga persatuan, menghindari perpecahan, dan mengedepankan dialog konstruktif dalam menyikapi perbedaan,” ujar Rahmat Nuruddin.
Ia menambahkan, “Idul Fitri adalah waktu yang tepat untuk saling memaafkan dan memperkuat silaturahmi. Mari kita jauhi sikap dengki dan permusuhan, baik di dunia nyata maupun di media sosial. Bangsa Indonesia terlalu besar untuk dihancurkan oleh perpecahan.”
KH Chriswanto juga mengingatkan bahwa krisis moneter 1998 menjadi pelajaran berharga bahwa unjuk rasa yang berujung kekacauan hanya memperparah penderitaan rakyat. “Idul Fitri adalah kesempatan untuk membersihkan hati dari dendam dan dengki. Rasulullah SAW mengingatkan, penyakit umat sebelum kita adalah kebencian dan permusuhan, yang bisa merusak agama dan amal baik,” paparnya.
Ia mengutip Surat Al-Khasr ayat 10, yang mengajarkan pentingnya menjaga hati dari kedengkian. “Kita harus memohon kepada Allah agar dijauhkan dari permusuhan. Jangan sampai perbedaan pendapat menjadikan sesama anak bangsa sebagai musuh,” tegasnya.
Selain itu, KH Chriswanto mengkritik budaya negatif di media sosial, di mana netizen Indonesia sering dinilai tidak sopan. “Kita dikenal sebagai bangsa yang ramah, tapi di media sosial justru banyak caci maki dan provokasi. Ini merusak demokrasi kita. Mari jadikan media sosial sebagai sarana kebaikan, bukan sumber dosa,” pesannya.
Ia menutup dengan ajakan kepada seluruh elemen bangsa untuk menjadikan Idul Fitri sebagai momentum memperbaiki diri. “Indonesia terlalu berharga untuk dikorbankan demi kepentingan kelompok. Mari bangun demokrasi yang sehat dan akhlak mulia demi masa depan bangsa,” pungkas KH Chriswanto.